Bengkulu, SMI
Memasuki tahun 2018, DPR kembali hiruk pikuk. Apalagi kalau bukan soal pergantian Ketua DPR yang ditinggalkan oleh Setyo Novanto. Golkar sebagai partai politik yang punya hak untuk mengisi kursi tersebut memainkannya dengan cukup baik. Pada awalnya, mencari pengganti ketua DPR hanyalah mekanisme internal biasa. Namun pada akhirnya mempengaruhi banyak hal saat dikaitkan dengan isu-isu kebijakan lainnya, yaitu Revisi UU MD3 dan Pansus Angket KPK. Menariknya, pergantian pimpinan ini menyusul setelah reshuffle kabinet oleh Presiden Joko Widodo dengan menambah satu kursi menteri untuk Golkar.
Di era sistem pemerintahan yang mengarah kepada convergence of power, dimana kekuatan legislatif dan eksekutif harus kawin untuk dapat menjalankan roda pemerintahan, gonjang-ganjing di parlemen tidak luput dari usaha pemerintah untuk merebut dukungan dari partai politik di parlemen. Golkar, yang awalnya bagian dari pihak oposisi Koalisi Merah Putih (KMP), menyeberang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan jumlah kursi sebanyak 91, partai berlambang beringin tersebut menambah porsi KIH sebesar 54 persen yang sebelumnya hanya 37 persen.
Bagi PDIP ini tentu kerugian. Sebagai pemenang pemilu 2014, seharusnya PDIP memperoleh hak yang sama dengan Demokrat pada Pemilu 2009 untuk menduduki Ketua DPR. Tampaknya hal inilah yang melandasi wacana Revisi UU MD3 kembali bergulir setelah vakum sejak Mei 2017 lalu. Harus ada kursi pimpinan tambahan untuk partai pemenang pemilu.
Tapi apa lacur. Kinerja DPR menurun. Hasil legislasi DPR tahun 2017 ini masih tersisa jari untuk menghitung. Artinya, partai-partai politik yang saat ini sedang persiapan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019 harus memikirkan supaya kondisi kepemimpinan DPR yang tidak stabil ini tidak terulang pada DPR hasil Pemilu 2019 kelak serta kinerja DPR nanti mampu mengimbangi pemerintah.
Ke depan, pola koalisi-oposisi di parlemen tidak lagi bisa permanen di sepanjang periode. Ia akan efektif saat masuk pada isu-isu kebijakan publik. Dalam konstitusi tercantum bahwa rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam bagian lain disebutkan bahwa rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR, dan jika DPR tidak menyetujui maka menggunakan APBN tahun sebelumnya. Sementara dalam hal pengawasan DPR tentu punya posisi lebih tinggi sebagai representasi rakyat. DPR dapat memakzulkan presiden melalui pintu pengawasan ini.
Artinya, koalisi-oposisi per isu kebijakan sangat dimungkinkan terjadi. Konsekuensinya, DPR musti bertransformasi menjadi DPR yang bekerja secara profesional untuk mengimbangi usulan kebijakan dari pemerintah, bahkan mengusulkan rancangan undang-undang sendiri. Dalam konteks ini, penguatan fungsi representasi sangat dibutuhkan.
Meski situasi tersebut diharapkan bisa terjadi, namun demikian posisi pimpinan DPR ini tetap strategis. Berdasarkan temuan IPC (2017) setidaknya ada sejumlah peran yang dapat mempengaruhi proses kebijakan di DPR, meskipun tampaknya sekedar peran administratif.
Penulis
Asmara Yumarni,M.Ag
April 27, 2018 Opini,